Kamis, 21 Maret 2013

MAKALAH (ASKEP GEROINTIK ASPEK PENUAAN)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan.dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ada tiga aspek yang perlu di pertimbangkan yaitu ;aspke biologi,aspek ekonomi,dan aspek social.Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik sehingga semakin rentannya terhadap penyakit yang dapat menyebabkan kematian.hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel,jaringan serta system organ.secara ekonomi penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban daripada sebagai sumber daya. banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua sering kali di persepsikan secara negative sebagai beban keluarga dan masyarakat. Dari aspek social,penduduk  lanjut usia merupakan satu kelompok social sendiri.di Negara barat penduduk lanjut usia menempati strata social di bawah kaum muda.hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi,pengaruhterhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan social yang semakin menurun.Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas social yang tinggi yang harus di hormati oleh warga kaum muda.
Menurut Bernice Neugarten (1968) James C.Chalhoum (1995) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya.Tetapi bagi orang lain periode ini adalah permulaan kemunduran.usia tua dipandang sebagai masa kemunduran,masa kelemahan manusiawi dan social.Pandangan ini tidak memperhitungkan bahwa kelompok lanjut usia bukanlah kelompok orang yang homogeny.usia tua dialami dengan cara yang berbeda-beda.ada orang lanjut usia yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia,yaitu sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh,berkembang serta berbakti.Ada juga lanjut usia yang memandang usia tua dengan sikap-sikap yang berkisar antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan,penolokan dan keputusasaan.Lansia ini menjadi terkunci dalam diri mereka sendiri dengan demikian semakin cepat kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri.
Proses penuaan adalah sesuatu yang kompleks yang dapat dijelaskan secara kronologis,fisiologis dan fungsional.
Usia kronologis merujuk pada jumlah tahun seseorang telah hidup. Mudah untuk diidentifikasikan  dan diukur,ini adalah metode objektif yang paling umum digunakan.Di Amerika serikat,usia tua kadang kala di klasifikasikan dalam tiga kelompok katagoru kronologis :
1)     Tua – Awal (usia 65 sampai usia 74 tahun)
2)     Tua – Pertengahan (usia 75 sampai usia 84 tahun)
3)     Tua – Akhir (usia 85 tahun keatas)
Selain itu,usia kronologis menjadi criteria dalam masyarakat untuk mengatagorikan aktivitas-aktivitas tertentu,seperti mengemudi,bekerja sebagai karyawan, dan pengumpulan pension.dengan berlakunya Socialsecurity Act dan didrikannya medicare,usia 65 tahun menjadi usia minimum keabsahan untuk pension.Dengan demikian usia 65 tahun adalah usia yang diakui untuk menjadi warga negara senior di Amerika serikat.Akan tetapi,banyak orang yang menetang ketentuan ini.
Usia Fisiologis merujuk pada penetapan usia dengan fungsi tubuh.Meskipun perubahan terkait usia dialami setiap orang,mustahil untuk mengetahui dengan tepat saat perubahan ini terjadi.itulah sebabnya mengapa usia fisiologis tidak digunakan dalam menetapkan usia seseorang.
Usia Fungsional merujuk pada kemapuan seseorang berkontribusi pada masyarakat dan bermanfaat untuk orang lain serta dirinya sendiri.Berdasarkan fakta bahwa tidak semua individu pada usia yang berdasarkan kurun waktu memiliki fungsi pada tingkat yang sama.banyak orang secara kurun waktu lebih tua tetapi bugar secara fisik,aktif secara mental, dan anggota masyarakat yang produktif.ada orang yang muda secara kurun waktu,tetapi secara fisik dan fungsional tua.
Dengan memandang proses penuaan dari perspective yang luas dapat membimbing kearah strategi yang lebih kreatif untuk melakukan intervensi terhadap lansia. Perubahan structural yang paling terlihat terjadi pada otak itu sendiri, walaupun bagian lain dari system saraf pusat juga terpengaruh. Perubahan ukuran otak yang di akibatkan oleh atropi girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks serebral adalah daerah otak yang paling besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron.
Penurunan aliran darah serebral dan penggunaan oksigen juga telah diketahui akan terjadi selama proses penuaan. Perubahan dalam system neurologis dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial 10% kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Penurunan dopamine dan beberapa enzim dalam otak pada lansia berperan terhadap terjadinya perubahan neurologis fungsional. Secara fungsional, mungkin terdapat suatu perlambatan reflek tendon profunda. Terdapat kecenderungan kearah tremor dan langkah yang pendek-pendek atau gaya berjalan dengan langkah kaki melebar disertai dengan berkurangnya gerakan yang sesuai. Fungsi system saraf otonom dan simpatis mungkin mengalami penurunan secara keseluruhan.

1.2  Tujuan
Mengetahui gangguan-gangguan terhadap fungsi persyarafan dan pencernaan pada lansia serta bagaimana Asuhan Keperawatan yang baik terhadap Lansia dengan gangguan-gangguan yang berbeda.

1.3  Manfaat
a.       Khusus
Memahami dan mengetahui gangguan-gangguan terhadap fungsi persyarafan dan pencernaan pada lansia serta bagaimana Asuhan Keperawatan yang baik terhadap Lansia dengan gangguan-gangguan yang berbeda.

b.      Umum
Memberikan informasi maupun gambaran bagaimana Asuhan Keperawatan yang baik terhadap Lansia dengan gangguan-gangguan yang berbeda.








BAB II
TINJAUAN TEORITIS DAN PEMBAHASAN

2.1  Anatomi Fisiolgi Sistem Saraf  Pada Lansia
Sistem persarafan pada manusia yang normal, maupun pada lansia yang telah mengalami perubahan adalah sebagai berikut :
1)      Otak
a.        Normal
Otak terletak di dalam rongga kepala, yang pada orang dewasa sudah tidak dapat lagi membesar, sehingga bila terjadi penambahan komponen rongga kepala sehingga dapat  meningkatkan TIK. Berat otak ≤ 350 gram pada saat kelahiran, kemudian meningkat menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun,berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang rata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun.Otak mengandung 100 million sel termasuk diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls listrik dari susunan saraf pusat.
b.       Lansia
Penuaan otak kehilangan 100.000 neuron / tahun. Neuron dapat mengirimkan signal kepada beribu-ribu sel lain dengan kecepatan 200 mil/jam. Terjadi penebalan atropi cerebral (berat otak menurun 10%) antar usia 30-70 tahun. Secara berangsur angsur tonjolan dendrite dineuron hilang disusul membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel.
Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear) yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan berasal dari lisosom atau mitokondria. RNA, Mitokondria dan enzyme sitoplasma menghilang, inklusi dialin eosinofil dan badan levy, neurofibriler menjadi kurus dan degenerasi granulovakuole.
Berbagai perubahan degenerative ini meningkat pada individu lebih dari 60 tahun dan menyebabkan gangguan persepsi, analisis dan integrita, input sensorik menurun menyebabkan gangguan kesadaran sensorik (nyeri sentuh, panas, dingin, posisi sendi). Tampilan sesori motorik untuk menghasilkan ketepatan melambat.
2)      Saraf Otonom
a.        Normal
(1)   Saraf simpatis
Bekerja untuk meningkatkan denyut jantung dan pernafasan serta menurunkan aktifitas saluran cerna.
(2)   Saraf Parasimpatis
Bekerjanya berlawanan dari saraf simpatis.
b.       Lansia
Pusat pengendalian saraf otonom adalah hipotalamus. Beberapa hal yang dikatakan sebagai penyebab terjadinya gangguan otonom pada usia lanjut adalah penurunan asetolikolin, atekolamin, dopamine, noradrenalin. Perubahan pada “neurotransmisi” pada ganglion otonom yang berupa penurunan pembentukan asetil-kolin yang disebabkan terutama oleh penurunan enzim utama kolin-asetilase.Terdapat perubahan morfologis yang mengakibatkan pengurangan jumlah reseptor kolin.
Hal ini menyebabkan predisposisi terjadinya hipotensi postural, regulasi suhu sebagai tanggapan atas panas atau dingin terganggu, otoregulasi disirkulasi serebral rusak sehingga mudah terjatuh.
3)      Sistem Saraf Perifer
a.        Normal
(1) Saraf Aferen
Berfungsi membawa informasi sensorik baik disadari maupun tidak, dari kepala, pembuluh darah dan ekstermitas. Saraf eferen menyampaikan rangsangan dari luar ke pusat.
(2) Saraf Eferen
Berfungsi sebagai pembawa informasi sensorik dari otak menuju ke luar dari susunan saraf pusat ke berbagai sasaran (sel otot/kelenjar).
b.       Lansia
(1) Saraf Aferen
Lansia terjadi penurunan fungsi dari saraf aferen, sehingga terjadi penurunan penyampaian informasi sensorik dari organ luar yang terkena ransangan.



(2) Saraf Eferen
Lansia sering mengalami gangguan persepsi sensorik, hal tersebut dikarenakan terjadinya penurunan fungsi saraf eferen pada sistem saraf perifer.
4)      Medulla Spinalis
a.        Normal
Fungsinya :
(1)      Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu, Cornu motorik/ cornu ventralis.
(2)      Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks lutut.
(3)      Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum.
(4)      Mengadakan komun ikasi antara otak dan semua bagian tubuh.
b.       Lansia
Medulla spinalis pada lansia terjadi penurunan fungsi, sehingga mempengaruhi pergerakan otot dan sendi di mana lansia menjadi sulit untuk menggerakkan otot dan sendinya secara maksimal.

2.1.1        Penyakit yang berhubungan dengan gangguan system neurologis pada lansia
1)      Stroke atau cedera cerebrovaskuler
a.    Patologi
Penyakit ini menunjukkan adanya beberapa kelainan otak baik secara fungsional maupun structural yang disebabkan oleh keadaan patologis dari pembuluh darah serebral atau dari selulruh system pembuluh darah otak, yang menyebabkan perdarahan dari sebuah robekan yang terjadi pada dinding pembuluh atau kerusakan sirkulasi serebral oleh oklusi parsial atau seluruh lumen pembuluh darah dengan pengaruh yang bersifat sementara atau permanen.
b.   Diagnosis keperawatan
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah: gangguan oklusi, hoemoragic, vasospasme serebral dan oedema serebral.
Ditandai dengan :
(1)     Perubahan suhu kulit (dingin pada ekstremitas), warna biru atau ungu.
(2)     Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori.
(3)     Perubahan pada respon motorik atau sensorik, gelisah.
(4)     Deficit sensori, bahasa, intelektual dan emosi.
(5)     Perubahan tanda-tanda vital
c.    Criteria hasil :
(1)     Mempertahankan tingkat kesadaran membaik, fungsi kognitif, dan motorik.
(2)     Memdemonstrasikan tanda-tanda vital stabil dan tidak adanya tanda-tanda peningkatan TIK.
(3)     Menunjukkan tidak ada kelanjutan kekambuhan.
(4)     Memperlihatkan penurunan tanda dan gejala kerusakan jaringan.
d.   Intervensi
(1)     Tentukan factor yang berhubungan dengan atau penyebab khusus selama penurunan perfusi serebral dan potensial terjadinya peningkatan TIK.
(2)     Observasi dan catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan normalnya.
(3)     Observasi tanda-tanda vital.
(4)     Evaluasi pupil catat ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksinya terhadap cahaya.
(5)     Catat perubahan dalam penglihatan.
(6)     Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi seperti fungsi bicara.
(7)     Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi natomis (netral).
(8)     Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang, batasi aktifitas sesuai indikasi.
(9)     Cegah terjadinya mengejan saat defekasi dan pernafasan yang memaksa.
(10) Kaji kegelisahan yang meningkat, peka rangsang dan kemngkinan serangan kejang.
(11) Beri oksigen sesuai indikasi.

2.1.2        Masalah-masalah Akibat Perubahan Sistem Persarafan Pada Lansia
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki dari atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang di derita.
Proses menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara ilmiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup. Proses menua setiap individu pada organ tubuh juga tidak sama cepatnya. Adakalanya orang belum tergolong lanjut usia (masih muda) tetapi kekurangan – kekurangannya yang menyolok (deskripansi). Adapun masalah-masalah perubahan sistem persarafan pada lansia adalah sebagai berikut, yaitu :
1)   Gangguan pola istirahat tidur
Seringkali lansia mengalami perubahan pola tidur atau perbandiangan bangun dan pengaturan suhu pada lansia.Keluhan utama pada lansia sebenarnya adalah lebih banyak terbangun pada dini hari dibandingkan dengan gangguan dalam tidur.Gangguan pola tidur dan pengaturan suhu terjadi akibat adanya penurunan pada hypothalamus pada lansia.
2)   Gangguan gerak langkah (GAIT)
Pada usia lanjut secara fisiologik terdapat perubahan gerak langkah menjadi lebih pendek dengan jarak kedua kaki lebih lebar, rotasi pinggul menurun dan gerak lebih lambat (Hadi Martono, 1992).
Keadaan ini sering diperberat oleh gangguan mekanik akibat penyakit yang menyertai, antara lain adanya arthritis, deformasi sendi, kelemahan fokal atau menyeluruh, neuropati, gangguan visual atau vestibuler atau gangguan integrasi di SSP (Friedman, 1995).
3)   Gangguan persepsi sensori
Perubahan sensorik terjadi pada jalur sistem sensori dimulai dari reseptor hingga ke korteks sensori, merubah transmisi atau informasi sensori.Pada korteks lobus parietal sangat penting dalam interpretasi sensori dengan pengendaian penglihatan, pendengaran, rasa dan regulasi suhu.Hilang atau menurunnya sensori rasa nyeri, temperature dan rabaan dapat menimbulkan masalah pada lansia.
4)   Gangguan eliminasi BAB dan BAK
Perubahan sistem saraf pada lansia juga sering terjadi pada sistem pencernaan maupun pada sistem urinari.Hal ini disebabkan karena pada lansia terjadi penurunan sistem saraf perifer, dimana lansia menjadi tidak mampu untuk mengontrol pengeluaran BAB maupun BAK, sehingga bisa menimbulkan beberapa masalah, seperti konstipasi, obstipasi, inkontinensia urin, dll.
5)   Kerusakan komunikasi verba
Pada lansia sering terjadi kerusakan komunikasi verbal, hal ini disebabkan karena terjadi penurunan atau ketidakmampuan untuk menerima, memproses, mentransmisikan dan menggunakan sistem simbol. Adapun yang menjadi penyebab lain masalah tersebut dikarenakan terjadinya perubahan pada persarafan di sekitar wajah.
2.1.3        Pemeriksaan Penunjang
1)   Elektroensefalogram (EEG
Elektroensefalogram ini adalah rekaman catatan grafik dari gelombang aktivitas listrik otak.
2)   Elektromiogram (EMG
Merupakan pemeriksaan untuk mengukur dan mencatat elektrik otot skeletal dan konduksi saraf.
3)   CT scan
Computed Tomography Scanning dapat memberikan gambaran secara mendetail bagian-bagian dari otak.Misalnya dapat menentukan bentuk, ukuran dan posisi, mendeteksi adanya perdarahan, dan edema.
4)   Magnetic resonance imaging (MRI)
Magnetik Resonance Imaging menggunakan medan magnet dan sinyal-sinyal frekuensi radio. Perubahan-perubahan energi yang dihasilkan akan diukur dan digunakan komputer MRI untuk menghasilkan gambar. Gambar akan tampak sebagai potongan-potongan dua dimensi.
5)   Indeks Katz
Indeks Katz dalam aktivitas sehari-hari (ADL) merupakan alat yang digunakan untuk menentukan hasil tindakan dan prognosis pada lanjut usia. Indeks Kartz meliputi keadekuatan pelaksanaan dalam enam fungsi seperti mandi, berpakaian, toileting, berpindah, kontinen, dan makan (Kart, 1963).

2.1.4        Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier Gangguan Persyarafan Pada Lansia
a.    Pencegahan Primer
Penggunaan model promosi, strategi dan intervensi kesehatan dapat diidentifikasi dari sudut pandang fisik, fungsional, kognisi-komunikasi, persepsi-sensori, dan psikologis.
PENDIDIKAN
Cara yang paling penting untuk menurunkan morbiditas, mortilitas dan disabilitas yang berhubungan dengan stroke adalah untuk mengurangi insidensi stroke yang pertama kali dan terjadinya kembali stroke.Pendidikan merupakan suatu komponen pencegahan primer yang sangat penting. Pencegahan primer ditujukan ke arah gaya hidup sehat, termasuk diet rendah lemak, garam, dan gula. Latihan secara teratur, yang menjadi suatu komponen penting dari jadwal lansia, dapat juga berperan terhadap pencegahan.
Walaupun seseorang tidak dapat mengubah riwayat keluarganya, mengajarkan pada lansia bagaimana cara penatalaksanaannya hipertensi dan diabetes melitus merupakan suatu tindakan pencegahan primer yang penting. Pemantauan tekanan darah secara teratur dan memberikan pengobatan antihipertensi secara tepat adalah tindakan perawatan diri sendiri yang sangat penting untuk mengurangi resiko stroke.
Gaya hidup sehat sebagai pencegahan primer termasuk program pendidikan kesehatan untuk mengurangi merokok, yang berisiko tinggi terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler.
Mendidik klien tentang obat antihipertensi termasuk memastikan jadwal waktu dan dosis yang benar, menggunakan alat bantu memori untuk membantu orang tersebut mengikuti program pengobatan, dan mengajarkan tentang tindakan pencegahan khusus untuk diikuti ketika sedang menggunakan obat-obat antihipertensi dan diuretik.
b.   Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder berhubungan dengan pengkajian, diagnosis, penentuan tujuan, dan intervensi ketika defisit neurologis terjadi.Tujuan secara keseluruhan adalah untuk mencegah terjadinya kehilangan kesehatan tambahan dan untuk mengembalikan klien pada tingkat kemampuan berfungsi mereka secara maksimum.
PENGKAJIAN
Pengkajian adalah komponen kunci dari diagnosis yang akurat, penentuan tujuan, dan intervensi. Salah satu komponen pengkajian fisik dalam gangguan neurologis adalah pengujian sensasi , koordinasi, fungsi serebral, refleks, dan saraf saraf cranial. Masalah fisik dan fungsional di masa lalu atau dimasa sekarang seperti defek fungsi motorik , kejang, cedera otak, kanker, refleks yang abnormal, kekakuan, dan paralisis adalah pemicu yang harus di evaluasi lebih lanjut. Selain itu defisit kognitif komunikatif ( dalam memori, proses berpikir dalam berbicara, abstraksi, kelancaran), status mental dan faltor persepsi sensori, dan masalah psikologis memandu perawat dalam mengembangkan strategi untuk meningkatkan kemampuan fungsional.
POSISI DAN LATIHAN FISIK
Memposisikan klien melibatkan dukungan pada ekstremitas yang paralisis untuk mencegah masalah sekunder, seperti kontraktur, dekubitus, dan nyeri paralisis pada ekstremitas menghalangi kembalinya aliran darah vena yang memadai, dengan demikian menyebabkan akumulasi cairan dalam jaringan.Akumulasi ini menghalangi suplai nutrisi yang memadai untuk sel-sel, sering mendorong ke arah terjadinya kerusakan jaringan.Kegiatan memposisikan klien melibatkan pengubahan posisi klien untuk memfasilitasi kesejajaran tubuh yang baik.
Latihan fisik dilaksanakan hanya pada titik resistensi.Perawat secara terus menerus mengevaluasi kemampuan klien untuk melaksanakan latihan fisik sendiri.Ketika klien telah stabil dan toleransi terhadap aktivitas meningkat, latihan fisik harus disatukan kedalam AKS seperti mandi, makan, memposisikan diri di tempat tidur, berpindah dan berdiri.
c.    Pencegahan tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk menurunkan efek dari penyakit dan cedera.Tahap perlindungan kesehatan ini dimulai pada periode awal penyembuhan.Pengawasan kesehatan selama rehabilitasi untuk meningkatkan fungsi, mobilitas, dan penyesuaian psikososial adalah hasil yang diharapkan dari pencegahan tersier.Hidup secara produktif dengan keterbatasan dan defisit, dan meminimalkan residu kecacatan adalah hasil tambahan yang diharapkan.Pencegahan tersier mempunyai banyak hal untuk ditambahkan pada kualitas hidup dan keseluruhan arti kehidupan yang diyakini oleh klien.

2.1.5        Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Perubahan Sistem Persarafan
A.  Pengkajian
Pengkajian ini meliputi identitas klien, status kesehatan saat ini, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik sistem persarafan, pola aktifitas sehari-hari, serta pengkajian psikososial dan spiritual.
1.    Identitas klien
1)   Nama
2)   Umur
3)   Jenis kelamin
4)   Status perkawinan
5)   Agama
6)   Suku
7)   Status kesehatan saat ini
(1)      Status kesehatan secara umum
(2)      Keluhan kesehatan saat ini
(3)      Pengetahuan/pemahaman dan penatalaksanaan masalah kesehatan
8)   Riwayat kesehatan masa lalu
(1)      Penyakit masa kanak-kanak
(2)      Penyakit serius atau kronik
(3)      Pernah mengalami trauma
9)   Riwayat kesehatan keluarga
(1) Hipertensi
(2)      kejang
(3)      Arthritis, masalah kesehatan mental
(4)      Stroke
(5)      Kematian mendadak yang tidak jelas sebabnya
Pemeriksaan fisik sistem persarafan
a. Memeriksa keadaan umum pasien.
b. Test fungsi cerebral/kortikal.
c. Test fungsi saraf cranial.
d. Test fungsi motorik dan cerebellum.
e. Test fungsi sensori.
Pola aktivitas sehari-hari
a. Tingkat latihan dan aktivitas.
b. Pekerjaan :
pola bekerja
pemajanan terhadap benda-benda toksik.
c. Riwayat perjalanan, yang terakhir.
Pengkajian psikososial dan spritual
a.    Psikososial
b.    Spiritual
c.    Konsep Diri :
1.  Gambaran Diri
2. Ideal diri
3. Harga Diri
4.Peran
5.Identitas Diri
B.  Diagnosa keperawatan
Diagnosa-diagnosa berikut ini adalah sebagian diagnosa yang dapat di angkat pada pasien lansia dengan gangguan sistem persarafan yang di kutip dari diagnosa keperawatan NANDA.
1.    Resiko tinggi cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis dan kognitif.
2.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh.
3.    Gangguan persepsi sensori (visual, auditori, kinestetik, pengecapan, taktil, penciuman) berhubungan dengan perubahan penerimaan sensori, transmisi dan integrasi.
4.    Gangguan pola eliminasi BAB dan BAK berhubungan dengan penurunan neuromuskuler.
5.    Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan perubahan frekuensi dan jadwal tidur
6.    Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan/penurunan sistem saraf.
C.  Intervensi
Di bawah ini adalah intervensi dan kriteria hasil dari diagnosa keperawatan yang telah di angkat yang di kutip dati buku diagnosa keperawatan dengan intervensi NIC dan kriteria hasil NOC.
1.    Resiko tinggi cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis dan kognitif
Tujuan :
a.    Pasien bebas dari resiko cedera.
b.    Tidak memperlihatkan tanda cedera fisik
Intervensi :
1)   Kaji status mental dan fisik.
2)   Lakukan strategi untuk mencegah cedera yang sesuai untuk status fisiologis.
3)   Pertahankan tindakan kewaspadaan
4)   Singkirkan atau lepaskan alat-alat yang dapat membahayakan pasien.
5)   Hindari tugas-tugas yang membahayakan
2.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh.
Tujuan :
a.    Pasien akan mengidentifikasikan aktifitas dan/atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang berkontribusi pada intoleransi aktivitas.
b.    Pasien dapat menampilkan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS).
Intervensi :
1)   Kaji respon emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas.
2)   Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas.
3)   Hindari menjadwalkan aktivitas selama periode istirahat.
4)   Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala dan ambulasi yang dapat di toleransi.
3.    Gangguan persepsi sensori (visual, auditori, kinestetik, pengecapan, taktil, penciuman) berhubungan dengan perubahan penerimaan sensori, transmisi dan integrasi
Tujuan :
a.    Pasien dapat menunjukkan kemampuan kognitif.
b.    Pasien dapat mengidentifikasikan diri, orang, tempat, dan waktu.
Intervensi :
1)   Pantau perubahan status neurologis pasien.
2)   Pantau tingkat kesadaran pasien
3)   Identifikasikan factor yang berpengaruh terhadap gangguan persepsi sensori.
4)   Pastikan akses dan penggunaan alat bantu sensori.
5)   Tingkatkan jumlah stimulus untuk mencapai tingkat sensori yang sesuai.
4.    Gangguan pola eliminasi BAB dan BAK berhubungan dengan penurunan neuromuskuler.
Tujuan :
a.Pasien dapat memenuhi kebutuhan eliminasi seperti biasa.
b.Pasien mampu mengidentifikasikan apabila ingin melakukan eliminasi.
Intervensi :
1)    Kaji pola eliminasi BAB dan BAK klien
2)    Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas optimal.
3)    Berikan privasi dan keamanan saat pasien melakukan eliminasi.
5.    Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan perubahan frekuensi dan jadwal tidur.
Tujuan :
a. Tidak ada masalah dengan pola, kualitas, dan rutinitas istirahat tidur.
b. Menunjukkan kesejahteraan fisik dan psikologis.
Intervensi :
1)   Pantau pola tidur pasien dan catat hubungan faktor-faktor fisik yang dapt mengganggu pola tidur pasien.
2)   Berikan/ciptakan lingkungan yang tenang sebelum tidur.
3)   Bantu pasien untuk mengidentifikasikan faktor-faktor yang mungkin menyebabkan kurang tidur, seperti ketakutan, masalah yang tidak terselesaikan, dan konflik.
4)   Bantu pasien untuk membatasi tidur di siang hari dengan menyediakan aktivitas yang meningkatkan kondisi terjaga

2.2  SISTEM PENCERNAAN
2.2.1    Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan 
Sistem pencernaan atau sistem gastrointestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
1.    Mulut
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri dari berbagai macam bau.
2.    Tenggorokan ( Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari bahasa yunani yaitu Pharynk.
Didalam lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang
3.    Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Sering juga disebut esofagus(dari bahasa Yunani: οiσω, oeso – “membawa”, dan έφαγον, phagus – “memakan”).
Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi.
Esofagus dibagi menjadi tiga bagian:
1)   bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)
2)   bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)
3)   serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus)
4.    Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang keledai.Terdiri dari 3 bagian yaitu :
1)     Kardia.
2)     Fundus.
3)     Antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan.
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting :
1)     Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.
2)     Asam klorida (HCl)
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
3)     Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)
5.    Usus halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.
Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah Luar )
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).
6.        Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.
Usus besar terdiri dari :
1)     Kolon asendens (kanan)
2)     Kolon transversum
3)     Kolon desendens (kiri)
4)     Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.
Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
7.        Usus Buntu (sekum)
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.
8.        Umbai Cacing (Appendix)
Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen).
Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix (atau hanya appendix) adalah hujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum.
9.        Rektum dan anus
Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
10.    Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi utama yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan berhubungan erat dengan duodenum (usus dua belas jari).
Pankraes terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu :
1)     Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan
2)     Pulau pankreas, menghasilkan hormon
11.    Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan memiliki berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan.
Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan penetralan obat. Dia juga memproduksi bile, yang penting dalam pencernaan. Istilah medis yang bersangkutan dengan hati biasanya dimulai dalam hepat- atau hepatik dari kata Yunani untuk hati, hepar.
12.    Kandung empedu
Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau gelap – bukan karena warna jaringannya, melainkan karena warna cairan empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan usus dua belas jari melalui saluran empedu.
Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:
1)     Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
2)     Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.

2.2.2   Perubahan fisiologis system pencernaan

1)   Kehilangan gigi,penyebab utama adanya periodontal desease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun.Penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk.
2)   Indera pengecap menurun.Adanya iritasi yang kronis dari selaput lendir.atropi indera pengecap (±80%),hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap di lidah teritama rasa manis,asin,asam,pahit.Selain itu sekresi air ludah berkurang sampai kira-kira 75% sehingga mengakibatkan rongga mulut menjadi kering dan bisa menurunkan cita rasa.
3)   Usofagus melebar.Penuaan usofagus berupa pengerasan sfringfar bagian bawah sehingga menjadi mengendur (relaksasi) dan mengakibatkan usofagus melebar (presbyusofagus).Keadaan ini memperlambat pengosongan usofagus dan tidak jarang berlanjut sebagai hernianhiatal.Gangguan menelan biasanya berpangkal pada daerah presofagus tepatnta di daerah osofaring penyebabnya tersembunyi dalam system saraf sentral atau akibat gangguan neuromuskuler seperti jumlah ganglion yang menyusut sementara lapisan otot menebal dengan manometer akan tampak tanda perlambatan pengosongan usofagus.
4)   Lambung,rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun).Lapisan lambung menipis diatas 60 tahun,sekresi HCL dan pepsin berkurang,asam lambung menurun,waktu pengosongan lambung menurun dampaknya vitamin B12 dan zat besi menurun.
5)   Peristaltic lemah dan biaanya timbul konstipasi
6)   Fungsi absopsi melemah (daya absorpsi terganggu).Berat total usus halus berkurang diatas usia 40 tahun meskipun penyerapan zat gizi pada umumnya masih dalam batas normal,kecuali kalsium (diatas 60 tahun)dan zat besi.
7)   Liver (hati).Penurunan enzim hati yang terlibat dalam oksidasi dan reduksi,yamg menyebabkan metabolisme obat dan detoksifikasi zat kurang efisien.


2.2.3   Gangguan Sistem Pencernaan Pada Lansia
1)   Anemia (defisiensi zat besi)
Anemia cukup umum pada populasi lansia,yang mungkin disebabkan kondisi predisposisi yang mendasari,seperti malnutrisi,dan infeksi kronis.Prognosis anemia lebih baik setelah therapy penggantian zat besi.

a.     Etiologi
(1)     Asupan diet zat besi yang tidak adekuat atau diet tidak seimbang yang buruk
(2)     Malabsorpsi zat besi,seperti pada diare kronis,gastrektomi parsial atau total,dan sindrom malabsorpsi seperti penyakit seliak
(3)     Kehilangan darah sekunder akibat perdarahan GI yang disebabkan obat (akibat antikoagulan,aspirin,steroid) atau akibat perdarahan karena trauma,ulkus GI,tumor ganas,dan varises.
(4)     Hemolisis intravascular yang disebabkan hemoglobulinuria atau hemoglobulinuria nokturia paroksimal.
(5)     Trauma eritrosit mekanis yang disebabkan oleh katup jantung prostetik atau filter vena kava.
b.    Tanda dan gejala
(1)     Dapat asimtomatik selama bertahun-tahun.
(2)     Keletihan
(3)     Sakit kepala
(4)     Tidak dapat berkonsentrasi
(5)     Nafas pendek (khusus pada kerja fisik)
(6)     Penigkatan frekuensi infeksi
(7)     Pada anemia kronis, disfagia efek neuromuskuler (gangguan vasomotorik,parestesia,dan nyeri neuralgik),glosistis (lidah merah,bengkak,lunak,berkilat dan nyeri tekan),stomatitis serta kuku rapuh.
(8)     Pada tahap lanjut,takhikardia (disebabkan oleh penurunan perfusi oksigen dan peningkatan curah jantung)
c.     Pemeriksaan Diagnostik
a)    Pemeriksaan darah dapat menunjukan hal-hal berikut :
o   Kadar Hb rendah (<12gr/dl pada pria,<10gr/dl pada wanita)
o   Hematokrit rendah (<47ml?dl pada pria,<42ml/dl pada wanita)
o   Kadar zat besi serum rendah,
o   Hitung SDM rendah
b)   Pemeriksaan sumsum tulang menunjukan deplesi atau tidak ada simpanan zat besi dan hyperplasia normoblastik
c)    Pemeriksaan Gi,seperti uji feses,barium telan dan enema,endoskopik,dan sigmoidoskopi untuk menyingkirkan atau memastikan apakah perdarahan disebabkan defisiensi zat besi.

d.    Penanganan
Sebelum penanganan dapat dimulai,penyebab yang mendasari anemia harus dipastikan.Selanjutnya terapi penggantian zat besi yang terdiri atas preparat oral atau kombinasi zat besi dan asam askorbat (meningkatkan absorpsi zat besi) dapat diberikan.
e.     Diagnosa keperawatan
1.    Ketidakseimbangan nutrisi:kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi zat besi dalam diet
Intervensi
§  Berikan suplemen zat besi sesuai program
§  Pantau kepatuhan pasien terhadap terapi penggantian zat besi yang diprogramkan.
§  Pantau apakah pasien mengalami over dosis penggantian zat besi.
§  Pantau hitung darah lengkap pasien dan zat besi serum dengan teratur
§  Kaji kebiasaan diet keluarga untuk asupan zat besi
§  Evaluasi riwayat obat-obatan pasien.
2.     Gangguan ferpusi jaringan berhubungan dengan penurunan Hb
Intervensi
·      Berikan terapi oksigen jika perlu untuk membantu mencegah dan mengurangi hipoksia
·      Berikan periode istirahat yang sering untuk mengurangi kelemahan fisik
·      Sesuai program,berikan analgesic untuk mengurangi sakit kepala dan ketidaknyamanan lain.
·      Pantau pasien apakah ada tanda dan gejala penururnan perfusi ke organ-organ vital
·      Pantau frekuensi nadi pasien dengan sering
·      Berikan penjelasan pasien tentang penyakitnya dan program pengobatan
·      Anjurkan pasien untuk tidak berhenti terapi
·      Informasikan kepada pasien bawsa susu dan antasida mengganggu absorpsi tetapi vitamin c dapat meningkatkan absorpsi.
·      Beri tahu pasien untuk melaporkan setiap efek merugikan dari terapi zat besi seperti : mual,muntah,diare,dan konstipasi
·      Ajarkan pasien untuk menjadwalkan aktivitas dengan periode istirahat yang dapat disesuaikan dengan kondisi anemianya.
·      Karena defisiensi zat besi dapat berulang,jelaskan kebutuhan untuk pemeriksaan teratur dan kepatuhan terhadap terapi yang diresepkan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Lansia merupakan masa-masa yang rentan terhadap penyakit, oleh karena itu asuhan keperawatannya pun berbeda-beda tergantung jenis penyakit dan tingkat ketergantungannya terhadap pelayanan.
Pengkajian adalah komponen kunci dari diagnosis yang akurat, penentuan tujuan, dan intervensi. Salah satu komponen pengkajian fisik dalam gangguan neurologis adalah pengujian sensasi , koordinasi, fungsi serebral, refleks, dan saraf saraf cranial. Masalah fisik dan fungsional di masa lalu atau dimasa sekarang seperti defek fungsi motorik , kejang, cedera otak, kanker, refleks yang abnormal, kekakuan, masalah pencernaan dan  paralisis adalah pemicu yang harus di evaluasi lebih lanjut. Selain itu defisit kognitif komunikatif ( dalam memori, proses berpikir dalam berbicara, abstraksi, kelancaran), status mental dan faktor persepsi sensori, dan masalah psikologis memandu perawat dalam mengembangkan strategi untuk meningkatkan kemampuan fungsional.



















DAFTAR PUSTAKA


Soeparman, Waspadji Sarwono, Buku Ilmu Penyakit Dalam edisi 3, Balai penerbit FKUI Jakarta, 2001 :127
Doengos, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Carpenito Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta, 2001
Boneng, 2011. Askep gerontik pada lansia dengan gangguan sistem persyarafan. http://blogboneng.blogspot.com/2011/12/askep-gerontik-dengan-gangguan.html
Kushariyadi.2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta: Salemba Medika


              













1 komentar: