Kamis, 21 Maret 2013

PROPOSAL(HUBUNGAN HIGIENE MAKANAN DENGAN DEMAM TIFOID



BAB 1
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit yang hampir semua ditemukan terjadi pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka kejadian tinggi pada daerah tropik dibandingkan daerah berhawa dingin. Sumber penularan penyakit demam tifoid adalah penderita yang aktif, penderita dalam fase konvalesen, dan kronik karier. Demam Tifoid juga dikenali dengan nama lain yaitu Typhus Abdominalis,Typhoid fever atau Enteric fever. Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteritik demam, sakit kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala pada perut meliputi pembesaran limpa dan erupsi kulit. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, S paratyphi A, S paratyphi B dan S paratyphi C. Jika penyebabnya adalah S paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S typhi.
Penyakit Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi terutama menyerang bagian saluran pencernaan. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa.
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan
216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan
dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang
tertelan secara oral.1,2 Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses. Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, meng-gunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.
Demam tifoid merupakan penyakit endemik yang termasuk dalam masalah kesehatan di negara berkembang, termasuk Indonesia karena dapat membawa dampak peningkatan angka morbiditas maupun angka mortalitas.. Diperkirakan menyerang 22 juta orang pertahun dengan angka kematian mencapai 200.000 jiwa per tahun. Menurut WHO, pada tahun 2003 terdapat sekitar 900.000 kasus di Indonesia, dimana sekitar 20.000 penderitanya meninggal dunia.1,2 Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enteritica, khususnya serotype Salmonella typhi. Bakteri ini termasuk kuman Gram negatif yang memiliki flagel, tidak berspora, motil, berbentuk batang, berkapsul dan bersifat fakultatif anaerob dengan karakteristik antigen O, H dan Vi. Penyebarannya terjadi secara fekal-oral melalui makanan ataupun minuman. Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Usaha penanggulangan demam tifoid meliputi pengobatan dan pencegahan. Pencegahan demam tifoid terdiri dari pencegahan primer, sekunder dan tersier. Untuk mendukung keberhasilan penanggulangan demam tifoid diperlukan data lapangan yang lengkap dan akurat melalui kegiatan surveilans.
Menurut keterangan dr. Arlin Algerina, SpA, dari RS internasional Bintaro, Di Indonesia, diperkirakan antara 800 - 100.000 orang terkena penyakit tifus atau demam tifoid sepanjang tahun. Demam ini terutama muncul di musim kemarau dan konon anak perempuan lebih sering terserang, peningkatan kasus saat ini terjadi pada usia dibawah 5 tahun.                Berdasarkan dari hasil-hasil survei yang telah dilakukan peneliti sebelumnya pada suatu daerah terdapat Subjek penelitian berjumlah 169 penderita yang terdiri dari 89 laki-laki dan 80 perempuan. Angka kejadian tertinggi terjadi pada bulan November 2009 (43,8%) yang diikuti dengan curah hujan yang tinggi. Kecamatan dengan insiden tertinggi terdapat pada kecamatan Semarang Barat dan kecamatan Genuk dengan 21 kasus (12,4%). Umur penderita berkisar antara 0 sampai dengan 86 tahun dengan angka tertinggi pada kelompok umur 0-10 tahun (43,8%). Kasus demam tifoid cenderung tersebar secara merata terutama terdapat pada daerah dengan kepadatan penduduk tinggi dan sekitar area tempat tinggal penderita demam tifoid. Kasus demam tifoid lebih banyak pada saat terjadinya peningkatan curah hujan.
Demam typhoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan Salmonella yang memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan. Sumber utama yang terinfeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang sakit atau sedang dalam masa penyembuhan. Pada masa penyembuhan, penderita pada masih mengandung Salmonella spp didalam kandung empedu atau di dalam ginjal. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara, sedang 2 % yang lain akan menjadi karier yang menahun. Sebagian besar dari karier tersebut merupakan karier intestinal (intestinal type) sedang yang lain termasuk urinary type. Kekambuhan yang ringan pada karier demam tifoid, terutama pada karier jenis intestinal, sukar diketahui karena gejala dan keluhannya tidak jelas.
Pendidikan kesehatan merupakan suatu proses perubahan pada diri seseorangyang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu dan masyarakat.Selain itu, pendidikan kesehatan juga merupakan suatu proses perkembangan yang berubah secara dinamis, yang di dalamnya seseorang dapat menerima ataumenolak informasi, sikap maupun praktek baru yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat.
Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subyeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring untuk melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan (Depkes RI, 2004). 
Menurut Permenkes, makanan adalah barang yang digunakan sebagai makanan atau minuman manusia, termasuk permen karet dan sejenisnya akan tetapi bukan obat (PERMENKES, 2000).
Makanan yaitu semua substansi yang diperlukan tubuh, kecuali air dan obat-obatan dan semua substansi-substansi yang dipergunakan untuk pengobatan (Depkes RI, 1989). Makanan merupakan sumber utama bagi tubuh dalam mengoptimalkan kerja fisik, namun apabila makanan sudah terkontaminasi mengakibatkan suatu penyakit. Oleh sebab itu proses pengolahan dan penyimpanan yang benar haruslah diperhatikan. Karena makanan bisa menjadi agen atau sumber unutk pembiakan kuman maupun bakteri yang dapat mengakibatkan penurunan kesehatan tubuh yang sudah mengkonsumsinya.



B.  Rumusan Masalah
a.    Khusus
Bagaimana hubungan higiene makanan dengan demam tifoid ?
b.    Umum
1)   Bagaimana gambaran hubungan higiene makanan dengan demam tifoid pada pasien anak usia 5 - 10  tahun di wilayah Rumah Sakit Ebah Kabupaten Bandung?
2)   Bagaimana tingkat pengetahuan orang tua terhadap higiene makanan?
3)   Bagaimana proses penularan demam tifoid?

C.  Tujuan Penelitian
a.       Khusus
Ingin mengetahui hubungan higiene makanan dengan demam tifoid.
b.      Umum
1)   Ingin mengetahui gambaran hubungan higiene makanan dengan demam tifoid.
2)   Ingin mengetahui bagaimana tingkat higiene makanan pasien sebelum masuk rumah sakit.
3)   Ingin mengetahui bagaimana tingkat pengetahuan orangtua terhadap higiene makanan.
4)   Ingin mengetahui faktor yang dapat menyebabkan seseorang menderita demam tifoid.
5)   Ingin mengetahui metode apakah yang bisa diterapkan dalam mengurangi tingkat penderita demam tifoid.

D.  Manfaat Penelitian
a.    Bagi Penelti
Mengetahui bagaimana hubungan higiene makanan dengan demam tifoid.
b.    Bagi Peneliti Berikutnya
Menjadikan bahan pertimbangan bagi rekan yang membacanya, serta acuan agar terjadi perbaikan untuk masa yang akan datang.
c.    Bagi Institusi
Semoga penelitian ini berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan dimasa yang akan datang

E.  Hipotesis
Ada hubungan antara higiene makanan dengan demam tifoid menggunakan metode survei analitik Case-control yaitu dengan melihat kebelakang sebelum terkena demam tifoid.























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah profesi yang mendidik masyarakat tentang kesehatan. Wilayah di dalam profesi ini meliputi kesehatan lingkungan, kesehatan fisik, kesehatan sosial, kesehatan emosional, kesehatan intelektual, dan kesehatan rohani. Hal ini dapat didefinisikan sebagai prinsip dengan mana individu dan kelompok orang belajar untuk berperilaku dengan cara yang kondusif untuk promosi, pemeliharaan, atau restorasi kesehatan.
Pendidikan Kesehatan sebagai "kombinasi dari pengalaman belajar yang direncanakan berdasarkan teori suara yang memberikan individu, kelompok, dan masyarakat kesempatan untuk memperoleh informasi dan keterampilan yang dibutuhkan untuk membuat keputusan kesehatan yang berkualitas."( Komite Bersama Pendidikan Kesehatan dan Promosi Terminologi Tahun 2001 ).
Pendidikan Kesehatan sebagai "yang terdiri dari peluang sadar yang dibangun untuk pembelajaran yang melibatkan beberapa bentuk komunikasi yang dirancang untuk meningkatkan melek kesehatan, termasuk meningkatkan pengetahuan, dan mengembangkan keterampilan hidup yang kondusif untuk kesehatan individu dan masyarakat."( WHO ).
Pendidikan kesehatan merupakan suatu proses perubahan pada diri seseorangyang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu dan masyarakat.Selain itu, pendidikan kesehatan juga merupakan suatu proses perkembangan yang berubah secara dinamis, yang di dalamnya seseorang dapat menerima ataumenolak informasi, sikap maupun praktek baru yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat.
( Notoatmodjo, 2003) Pendidikan merupakan usaha, pengaruh dan bantuan yang diberikan untuk seseorang agar  bisa dewasa. Proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan dengan 3 hal yang terdiri dari :
1)      Aspek Kognitif : Knowledge
2)      Affektif : Attitude
3)             Psikomotor : Practice Pendidikan Kesehatan memotifasi seseorang untuk menerima informasi kesehatan dan berbuat sesuai dengan informasi tersebut agar mereka menjadi lebih tahu dan lebih sehat(Budioro 1998).

B.  Pengetahuan
1.      Pengertian
pengetahuan berarti segala sesuatu yg diketahui; kepandaian: atau segala sesuatu yg diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran). (KBBI).
Pengetahuan adalah reaksi dari manusia atas rangsangannya oleh alam sekitar melalui persentuhan melalui objek dengan indera dan pengetahuan merupakan hasil yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan sebuah objek tertentu. (Pudjawidjana 1983)
Menurut pengetahuan adalah sebagai ingatan atas bahan-bahan yang telah dipelajari dan mungkin ini menyangkut tentang mengikat kembali sekumpulan bahan yang luas dari hal-hal yang terperinci oleh teori, tetapi apa yang diberikan menggunakan ingatan akan keterangan yang sesuai. Ngatimin (1990),
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telingan. Notoatmodjo (2007).


2.      Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pengetahuan
Faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan
1)      Faktor internal
a.    Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.
Menurut YB Mantra yang dikutip Notoadmojo (2003), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan (Nursalam,2003) pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi.
b.    Pekerjaan
Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan ,tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan ,berulang dan banyak tantangan.
Sedangkan bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga.
c.    Umur
Menurut Elisabeth BH  yang dikutip Nursalam (2003), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun.Sedangkan menurut Huclok (1998) semakin cukup umur,tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja.
Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa.
2)      Faktor Eksternal
a.    Faktor Lingkungan
Menurut Ann. Mariner yang dikutip dari Nursalam (3 lingkungan) merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok.
b.    Sosial Budaya
Sistem social budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi

3.      Tingkat pengetahuan
Tingkat pengetahuan Menurut Arikunto (2006) pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif,yaitu :
1)    Baik: Hasil presentase 76%-100%
2)    Cukup: Hasil presentase 56%-75%
3)    Kurang: Hasil presentase > 56%

4.      Peran Pengetahuan Terhadap Perilaku
Pengetahuan adalah sumber utama bagi seseorang dalam melakukan segala bentuk keinginan sesuai dengan harapan, namun kurangnya pengetahuan menimbulkan suatu masalah, baik itu penyakit maupun kecelakaan. Dengan adanya pengetahuan yang didapatkan, seseorang bisa menambah pundi-pundi ilmunya untuk diterapkan di lingkungannya baik keluarga, masyarakat, dan organisasi. Sehingga, akan mampu meminimalisir suatu kecelakaan ataupun penyakit.


C.  Personal Higiene
1.      Pengertian Higiene
Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subyeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring untuk melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan (Depkes RI, 2004). 
2.      Pengertian Personal Higiene
Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan. Hal-hal yang sangat berpengaruh itu di antaranya kebudayaan, sosial, keluarga, pendidikan, persepsi seseorang terhadap kesehatan, serta tingkat perkembangan.
Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan mereka. Kebersihan perorangan sangat penting untuk diperhatikan. Pemeliharaan kebersihan perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu , keamanan dan kesehatan ( Potter, 2005).
3.      Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Personal Hygiene
Menurut Depkes (2000) Faktor – faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:
1)   Citra tubuh ( Body Image)
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2)   Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene .
3)   Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
4)   Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5)   Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
6)   Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
7)   Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
4.    Sanitasi Dasar
Sanitasi dasar yaitu sanitasi minimum yang diperlukan untuk menyehatkan lingkungan pemukiman meliputi penyediaan air bersih, pembuangan kotoran manusia (jamban), pembuangan air limbah dan pengelolaan sampah.
a.     Penyediaan Air Bersih
Air merupakan salah satu bahan pokok yang mutlak dibutuhkan oleh manusia sepanjang masa. Sumber air yang banyak dipergunakan oleh masyarakat adalah berasal dari :
1)   Air permukaan , yaitu air yang mengalir di permukaan bumi akan membentuk air permukaan . Air ini umumnya mendapat pengotoran selama pengalirannya.
2)   Air tanah, secara umum terbagi menjadi : air tanah dangkal yaitu erjadi akibat proses penyerapan air dari permukaan tanah, sedangkan air tanah dalam terdapat pada lapis rapat air yang pertama.
3)   Air atmosfer / meteriologi/air hujan, dalam keadaan murni sangat bersih tetapi sering terjadi pengotoran karena industri, debu dan lain sebagainya. (Waluyo, 2005)
Air mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan. Apabila tidak diperhatikan , maka air yang dipergunakan masyarakat dapat mengganggu kesehatan manusia. Untuk mendapatkan air yang baik, sesuai standard tertentu , saat ini menjadi barang yang mahal karena sudah banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah dari hasil kegiatan manusia, baik limbah dari kegiatan rumah tangga, limbah dari kegiatan industri dan kegiatan- kegiatan lainnya (Wardhana, 2004).
D.  Higine Makanan
1.    Pengertian Higiene, Makanan, dan Minuman
Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subyeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring untuk melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan (Depkes RI, 2004). 
Menurut Permenkes, makanan adalah barang yang digunakan sebagai makanan atau minuman manusia, termasuk permen karet dan sejenisnya akan tetapi bukan obat (PERMENKES, 2000).
Makanan yaitu semua substansi yang diperlukan tubuh, kecuali air dan obat-obatan dan semua substansi-substansi yang dipergunakan untuk pengobatan (Depkes RI, 1989).
Minuman adalah segala sesuatu  yang diminum masuk ke dalam tubuh seseorang yang juga merupakan salah satu intake makanan yang berfungsi untuk membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberi tenaga, mengatur semua proses di dalam tubuh (Tarwotjo, 1998).
2.    Peranan Makanan Sebagai Media Penularan Penyakit
Menurut Sihite (2000), makanan dalam hubungannya dengan penyakit, akan dapat berperan sebagai :

1)   Agen
Makanan dapat berperan sebagai agent penyakit, contohnya : jamur seperti Aspergillus yaitu spesies dari genus Aspergillus diketahui terdapat dimana-mana dan hampir dapat tumbuh pada semua substrat, fungi ini akan tumbuh pada buah busuk, sayuran, biji-bijian, roti dan bahan pangan lainnya.
2)   Vehicle
Makanan juga dapat sebagai pembawa  (vehicle)  penyebab penyakit, seperti : bahan kimia atau parasit yang ikut termakan bersama makanan dan juga beberapa mikroorganisme yang patogen, serta bahan radioaktif. Makanan tersebut dicemari oleh zat-zat diatas atau zat-zat yang membahayakan kehidupan.
3)   Media
Makanan sebagai media penyebab penyakit, misalnya kontaminasi yang jumlahnya kecil, jika dibiarkan berada dalam makanan dengan suhu dan waktu yang cukup, maka bisa menyebabkan wabah yang serius.
3.    Penyehatan Makanan
Makanan merupakan suatu hal yang yang sangat penting di dalam kehidupan manusia, makanan yang dimakan bukan saja memenuhi gizi dan mempunyai bentuk menarik, akan tetapi harus aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan kimia yang dapat menyebabkan penyakit.
Menurut Depkes RI, (2000) Penyehatan makanan adalah upaya untuk mengendalikan faktor tempat, peralatan, orang dan makanan yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
Ada dua faktor yang menyebabkan suatu makanan menjadi berbahaya bagi manusia antara lain (Chandra, 2006) :
1)      Kontaminasi
a.       Parasit, misalnya : cacing dan amuba.
b.      Golongan mikroorganisme, misalnya : salmonela dan shigella.
c.       Zat kimia, misalnya : bahan pengawet dan pewarna.
d.      Bahan-bahan radioaktif, misalnya : kobalt dan uranium.
e.       Toksin atau racun yang dihasilkan mikroorganisme, misalnya : stafilokokus dan clostridium botulinum.
2)      Makanan yang pada dasarnya telah mengandung zat berbahaya, tetapi tetap dikonsumsi manusia karena ketidaktahuan, dapat dibagi menjadi tiga golongan :
a.    Secara alami makanan itu memang telah mengandung zat kimia beracun, misalnya singkong yang mengandung HCN, ikan dan kerang yang mengandung unsur toksik tertentu (Hg dan Cd) yang dapat melumpuhkan sistem saraf.
b.    Makanan dijadikan sebagai media perkembangbiakan sehingga dapat menghasilkan toksin yang berbahaya bagi manusia, misalnya dalam kasus keracunan makanan akibat bakteri.
c.    Makanan sebagai perantara. Jika suatu makanan yang terkontaminasi dikonsumsi manusia, didalam tubuh manusia agen penyakit pada makanan itu memerlukan masa inkubasi untuk berkembangbiak dan setelah beberapa hari dapat mengakibatkan munculnya gejala penyakit. Misalnya penyakit  typhoid abdominalis dan disentri basiler.  
4.    Prinsip penyimpanan makanan
Prinsip penyimpanan makanan terutama ditujukan kepada :
1)    Mencegah pertumbuhan dan perkembangan bakteri
2)    Mengawetkan makanan dan mengurangi pembusukan
3)    Mencegah timbulnya sarang hama

E.  Demam Tifoid
1.      Pengertian
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus, sinonim dari demam tipoid adalah typhoid. Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, yang merupakan endemik di indonesia. Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemik, dikarenakan lebih bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada satu keluarga. Di indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dan insidens tertinggi terjadi pada daerah endemik pada anak-anak. Terdapat dua sumber penularan S. typi, yaitu pasien dengan demam tipoid dan yang lebih sering yaitu karier. Di daerah endemik, transmisi terjadi melalui air yang tercemar S. typhi, sedangkan makanan yang tercemar oleh karier merupan sumber penularan tersering di daerah non-endemik.

2.      Patogenesis
Proses patogenesis / masuknya penyakit ini ialah dengan proses masuknya organisme S. typhi  masuk dalam tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan lympoid plak peyeri di ileum terminalis yang hypertrofi. Bila terjadi komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal, kuman menembus lamina propia, masuk aliran limfe mencapai jaringan limfe mesenterial, dam masuk aliran darah melalui duktus torasikus. S. typhi lain dapat mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S. typhi bersarang di plak peyeri, limpa, hati, dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Endotoksin S. typhi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan tempat kuman tersebut berkembangbiak. S. typhi dan endotoksiknya merangsang sinstesis dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang meradang, sehingga terjadi demam.

3.      Gejala
Gejala-gejala yang timbul berfariasi. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan peningkatan suhu badan. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah tifoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma, sedangkan roseolae jarang ditemukan pada orang indonesia.
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka  ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : 
a.    Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b.    Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
c.    Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.



4.       Distribusi dan Frekwensi
a.       Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun 10 – 20 %, usia > 40 tahun 5 – 10 %.
Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita demam tifoid pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada umur 10  -15 tahun dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 – 3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.
b.      Tempat dan Waktu
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk.
Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.
5.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan)
a.       Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental  dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control, mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7  lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7).
b.      Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.
c.       Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis  terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case control, mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik  (OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena penyakit  demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak tercemar berat coliform (OR=6,4).
6.      Sumber Penularan (Reservoir)
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil  Salmonella typhi  ke manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid. Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :

1)      Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.
2)      Karier Demam Tifoid.
Penderita  tifoid  karier  adalah seseorang yang kotorannya  (feses atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 – 3 bulan masih dapat ditemukan kuman  Salmonella typhi  di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan. Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya. Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis.
a.       Healthy carrier  (inapparent) adalah  mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
b.      Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.
c.       Convalescent carrier  (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.
d.      Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.       
7.      Diagnosis
Hasil diagnosis memperlihatkan bahwa biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid. Biakan tinja positif menyokong diagnosis klinis demam tifoid. Peningkatan titer uji Widal empat kali lipat selama 2-3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Reaksi Widal tunggal dengan titer antibodi O® 1:320 atau titer antibodi H® 1:640 menyokong diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran klinis yang khas. Pada beberapa pasien, uji Widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang, walaupun biakan darah positif.
8.      Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam dua kategori atau jenis komplikasi, yaitu; komplikasi intestinal, meliputi (perdarahan usus, perforasi usus, dan ileus paralitik) dan komplikasi ekstra intestinal, meliputi:
Ø Komplikasi Intestinal :
1)   Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
2)   Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut.  Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
Ø Komplikasi ekstra intestinal :
a.    Komplikasi kardiovaskular; kegagalan sirkulasi perifer (renjatan, sepsis), miokarditis, trombosis, dan tromboflebitis.
b.    Komplikasi darah; anemial hemolitik, trombositopenia, koagulasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c.    Komplikasi paru; pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d.   Komlikasi hepar dan kandung kemih; hepatitis dan kolelitiasis.
e.    Komplikasi ginjal; glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
f.     Komplikasi tulang; osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis.
g.    Komplikasi neuropsikiatrik; delirium, meningismus, polineuritis perifer, sindrome Guillain-Barre, psikosis, dan sindrom katatonia.
9.      Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
1)      Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi  yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
a.    Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b.    Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1    5  tahun  0,1  ml  yang  diberikan  2  dosis  dengan  interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c.    Vaksin polisakarida  Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun.
d.   Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.
2)      Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa  penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :
a.    Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
b.    Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
c.    Diagnosis Serologik
Uji  Widal  adalah  suatu  reaksi  aglutinasi  antara  antigen  dan  antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi  terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi  Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
10.  Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
1.    Pemberian antibiotik; untuk menghentikan dan memusnahkan pnyebaran kuman:
a.       Kloramfenikol; dosis hari pertama 4x250 mg, hari kedua 4x500 mg, diberikan selama demam dilanjutkan sampai (2) dua hari bebas bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4x250 mg selama lima hari kemudian. Penelitian terakhir (Nelwan, dkk. di RSUP Persahabatan), penggunaan kloramfenikol masih memperlihatkan penurunan suhu 4 hari, sama seperti obat-obat baru dari jenis kuinolon.
b.      Ampisilin/Amoksilin; dosis 50-150 mg/kg BB, diberikan selama 2 minggu.
c.       Kotrimoksazol; 2x2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol 80 mg trimetoprim, diberikan selama 2 minggu pula.
d.      Sefalosporin generasi II dan III. Di subbagian penyakit tropik dan infeksi FKUI-RSCM, pemberian sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid dengan baik. Demam pada umumnya mengalami mereda pada hari ke -3 atau menjelang hari ke -4. Regimen yang dipakai adalah:
o   Seftriakson 4 g/hari selama 3 hari,
o   Norfloksasi 2x400 mg/hari selama 14 hari,
o   Siprofloksasin 2x500 mg/hari selama 6 hari,
o   Ofloksasin 600 mg/hari selama 7 hari,
o   Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari,
o   Freloksasin 400 mg/hari selama 7 hari.
2.    Istirahat dan perawatan profesional; bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga hygiene perseorangan, kebersihan tempat tidur, pakian, dan peralatan yang dipakai pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.
3.    Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif)
Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukan bahwa peberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup unutk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostatis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan optimal.
Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik perlu dilakukan perawatan intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada renjatan septik. Prognosis tidak begitu baik pada kedua keadaan di atas.







BAB III
METODE PENELITIAN
A.  Metode Penelitian
Metode penelitian survei analitik adalah survei atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian melakukan analisis dinamika kolerasi antara fenomena, baik antara faktor risiko dengan faktor efek, antar faktor risiko, maupun antar faktor efek. Yang dimaksud faktor efek adalah suatu akibat dari adanya faktor risiko, sedangkan faktor risiko adalah suatu fenomena yang mengakibatkan terjadinya efek (pengaruh). Secara garis besar survey analitik ini dibedakan dalam 3 pendekatan (jenis), yakni Survey Analitic Cross Sectional, Survey Analitic Case Control (Retrospective), dan Survey Analitic Cohort (Prospective).

1.    Rancangan Penelitian
Jenis penelitan yang digunakan untuk melihat hubungan antara higiene makanan dengan demam tifoid pada anak usia 5-10 tahun wilayah rumah sakit ebah Bandung yaitu penelitian case control.
Penelitian Case control atau kasus kontrol adalah suatu penelitian (survei) analitik yang menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospektif. (Notoatmodjo, 2010).
Dengan kata lain, efek (penyakit atau status kesehatan) diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor resiko diidentifikasi ada atau terjadinya pada waktu yang lalu. (Notoatmodjo, 2010).







a.       Rancangan penelitian case control
Berikut ini adalah rancangan penelitian dengan Case control



 












b.      Tahapan-tahapan Penelitian
Tahapan penelitan ini meliputi :
1)   Identifikasi variabel-variabel penelitian (faktor resiko dan faktor efek).
2)   Menetapkan subjek penlitian (populasi dan sampel).
3)   Identifikasi kasus.
4)   Pemilihan subjek sebagai control.
5)   Melakukan pengukuran retrospektif (melihat ke belakang) untuk melihat faktor resiko.
6)   Melakukan analisis dengan membandingkan proporsi antara variabel-variabel objek penelitian dengan variabel-variabel kontrol.
c.         Tahap-tahap Penelitian
1.    Identifikasi variabel dependen (efek) dan variabel independen (resiko)
1)   Variabel dependen : Anak usia 5-10 tahun yang terkena demam tifoid.
2)   Variabel independen : higene makanan.
3)   Variabel independen lainnya : pendidikan, perilaku, pencemaran air, pendapatan keluarga, status ekonomi, status sosial.
2.    Menetapkan subjek penelitian
Yang menjadi subjek penelitian yaitu pasangan Ibu dan anak ruang I dan II ruangan Cempaka yang terkena penyakit Demam Tifoid RS Bandung.
3.    Identifikasi kasus
Pada tahapan ini identifikasi ditujukan pada anak usia 5-10 tahun yang menderita demam tifoid ruang I dan II ruangan cempaka.
4.    Pemilihan subjek yang akan menjadi kelompok kontrol
Yang menjadi kelompok kontrol yaitu pasangan ibu dan anak usia 5-10 tahun ruang III ruangan cempaka yang tidak mengalami demam tifoid.
5.    Melakukan pengukuran retrospektif untuk melihat faktor resiko
Metode yang dipakai dalam melakukan pengukuran ini yaitu dengan menggunakan metode recall mengenai perilaku atau kebiasaan memberikan makanan kepada anaknya untuk menanyakan kepada ibu anak usia 5-10 tahun tersebut tentang jenis-jenis makanan dan bagaimana tingkat ke higienisan beserta jumlahnya sebelum terkena demam tifoid dengan menggunakan metode 24 jam (24 hours recall).
6.    Pengolahan dan analisis data

2.      Paradigma Penelitian
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir untuk Salmonella typhi. Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi). Insidens penyakit ini dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses yang mengandung S-typhi. Pada permulaan penyakit, biasanya tidak tampak gejala atau keluhan dan kemudian timbul gejala atau keluhan seperti demam sore hari dan serangkaian gejala infeksi umum dan pada saluran cerna.




Kerangka Konsep Penelitian



 













Keterangan :
                         = variabel yang diteliti
                         = variabel yang tidak diteliti












3.      Variabel Penelitian
variabel merupakan ciri atau ukuran yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan kelompok lain. Berikut ini adalah jenis variabel-variabel yang akan diteliti:
variabel dependen : anak usia 5-10 tahun yang terkena demam tifoid wilayah rumah sakit ebah majalaya kabupaten bandung.
 Variabel independen : higiene makanan
Variabel independen lainnya : status sosial, status ekonomi, pendidikan, perilaku, pencemaran air, dan pengetahuan.

4.      Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi
Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
1




Tingkat pengetahuan ibu tentang higiene makanan
Pemahaman tentang higiene makanan (Prasetyono, 2009)
Kuesioner
Wawancara dan observasi
1. Baik     (jawaban benar > 75 %)
2. Kurang Baik (jawaban benar < 75 %) (Sugiono, 2005: 38)
Ordinal
2
Demam Tifoid
Keadaan umum yang dapat dilihat dari dampak makanan yang terkontaminasi yang sudah dimakan pasien (….)
observasi
observasi
1. Sudah memakan makanan terkontaminasi
2.Belum memakan makanan yang terkontaminasi

Nominal


B.  Lokasi Penelitian
Wilayah rumah sakit Umum daerah Majalaya Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung.
C.  Populasi dan sampel
Populasi dan sampel yang telah diambil oleh peneliti dengan tehnik random sampling (pengmbilan secara acak sederhana atau simple random sampling) didapatkan hasil berikut ini.
1)     Populasi : pasangan ibu dan Anak usia 5-10 tahun wilayah Rumah Sakit Ebah Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung yang berjumlah 60 orang.
2)     Sampel : pasangan ibu dan anak usia 5-10 tahun wilayah Rumah Sakit Ebah Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung yang berjumlah 30 orang.
D.  Cara Pengumpulan Data
Pada tahapan pelaksanaan dalam pengumpulan data menggunakan metode interview, wawancara, dan observasi.


1)      Wawancara
Wawancara atau interview adalah suatu metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data, dimana peneliti mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari responden atau bertatap muka (face to face). (Notoatmodjo, 2010)
2)      Observasi
Observasi atau pengamatan adalah suatu prosedur yang berencana, yang antara lain meliputi melihat, mendengar, dan mencatat sejumlah data dan taraf aktifitas tertentu atau situasi tertentu yang ada hubungannya dengan kasus demam tifoid pada anak usia 5-10 tahun.
E.  Instrumen Penelitian
Instrumen penelitan adalah  alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen yang digunakan yaitu berupa kuesioner (daftar pertanyaan) dan formulir observasi. (Notoatmodjo, 2010)
Agar instrumen valid dan reliabel, sebelum digunakan maka di uji coba (pretest) terlebih dahulu. Yang dimaksud valid adalah instrumen sebagai alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang di ukur. Sedangkan reliabel adalah instrumen sebagai alat ukur dapat memperoleh hasil ukur yang ajeg (konsisten). (Notoatmodjo, 2010)

1)   Validitas
Agar alat ukur benar-benar mengukur apa yang di ukur, maka untuk mengetahui apakah kuesioner yang disusun mampu mengukur apa yang hendak diukur, maka perlu di uji dengan korelasi antar skors (nilai) tiap item (pertanyaan) dengan skors total kuesioner tersebut. Bila semua pertanyaan itu mempunyai korelasi yang bermakna (construct validity) berarti semua item (pertanyaan) yang ada di dalam kuesioner itu mengukur konsep yang di ukur. Yang akan di ukur yaitu mengukur pengetahuan higiene makanan dengan kasus demam tifoid pada orang tua anak. Maka disusun pertanyaan berikut ini, diantaranya:
a.       Apakah ibu/bapak pernah mendengar apa itu demam tifoid atau tifus?
b.      Bila pernah, kenapa penyakit tersebut bisa menyerang manusia?
c.       Apakah ibu/bapak tau penyebab demam tifoid atau tifus?
d.      Apakah ibu/bapak tau mengenai pentingnya higiene makanan/ makanan sehat?
e.       Bagaimana pendapat bapa/ibu mengenai makanan sehat?
f.       Hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan saat kita mau mengkonsumsi makanan?
g.      Apakah ibu/bapak pernah dengar kontaminasi?
h.      Apakah yang dimaksud dengan kontaminasi?
i.        Hal apakah yang perlu diketahui saat mau menyimpan makanan agar tidak terkontaminasi?
j.        Kenapa begitu pentingnya makanan sehat bagi kita?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diberikan kepada sekelompok responden sebagai sasaran uji coba. Kemudian pertanyaan-pertanyaan kuesioner tersebut diberi skors atau nilai jawaban masing-masing sesuai penilaian yang telah ditetapkan.
Nilai 0 : untuk jawaban salah
Nilai 1 : untuk jawaban mendekati benar
Nilai 2 : unutk jawaban benar
Selanjutnya untuk menghitung korelasi antara skors masing-masing pertanyaan dengan skors total, yaitu dengan 10 pertanyaan kuesioner tersebut dengan demikian, maka akan ada 10 uji korelasi, yaitu Pertanyaan nomor 1 dengan total.....skors Pertanyaan nomor 2 dengan total.....skors dan seterusnya.
Berikut ini adalah rumus yang dipakai untuk menghitung antara korelasi antara kuesioner tersebut.
Rums tehnik korelasi “product moment”

R =

2)   Relibilitas
Reliabilitas adala indeks yang menunjukan sejauh mana suatu pengukur dapat dipercaya atau diandalkan dan perhitungan ini bisa dilakukan sesudah diketahui nilai validitasnya atau valid. Demikian juga kuesioner sebagai alat ukur untuk itu perlu dilakukan uji coba sekurang-kurangnya dua kali yang di uji menggunakan “product moment”dengan tehnik pararel yaitu dengan membuat dua alat pengukur(kuesioner) unutk mengukur aspek yang sama. Kedua kuesioner tersebut diteskan (dicobakan) terhadap sekelompok responden yang sama. Kemudian masing-masing pertanyaan pada kedua kuesioner tersebut dicari (dihitung) validitasnya. Pertanyaan-pertanyaan dari kedua alat ukur tersebut, yang tidak valid dibuang dan yang valid dihitung total skorsnya, lalu skors total dari masing-masing responden dari kedua kuesioner tersebut dihitung korelasinya.

F.   Rencana Pengolahan Dan Analisis Data
1)   Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan suatu langkah yang penting agar diperoleh penyajian data sebagai hasil yang berarti dan kesimpulan yang baik. pengolahan data yang digunakan yaitu dengan pengolahan data jenis kuantitatif, yakni data yang diperoleh dari hasil pengukuran, dengan jalan mengubah data kualitatif ke dalam kuantitatif untuk mengukur berapa skors dari hasil tes dan hasil dari penghitungan terhadap pengetahuan orangtua terhadap hubungan higiene makanan dengan demam tifoid.
Tehnik pengolahan data yang digunakan yaitu tehnik statistik, yakni pengolahan data dengan menggunakan analisis statistik yang bisa dilakukan dengan tangan (manual) ataupun dengan bantuan komputer.

2)   Analisis Data
Pada tahap ini data di olah dan di analisis  dengan tehnik tabulasi data dan perhitungan-perhitungan statistik dapat dilakukan manual maupun dengan bantuan komputer. Agar data yang dihasilkan sesuai harapan maka dilakukan pengolahan data dengan editing, coding, processing, dan cleaning.
a)      Editing
Hasil wawancara dan observasi (pengamatan) dilakukan penyuntingan terlebih dahulu meliputi pengecekan dan perbaikan kuesioner.
b)      Coding
Setelah semua kuesioner di edit atau disunting dilakukan peng”kodean" atau coding, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.
c)      Processing (memasukan data)
Data, dari jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk kode (angka atau huruf) dimasukan ke dalam program SPSS.
d)     Cleaning (pembersihan data)
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukan, dilakukan pengecekan kembali unutk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan, data, kemudian dilakukan pembetulan atau korelasi.

G.  Jadwal Kegiatan
Berikut ini adalah uraian langkah-langkah kegiatan dari mulai menyusun proposal penelitian, penulisan laporan penelitian, serta waktu berlangsungnya tiap kegiatan tersebut.

Berikut ini adalah jadwal kegiatan yang akan dilakukan:

Pelaksanaan kegiatan
Bulan ke
1
2
3
4
5
6
1.    Penyusunan Proposal
2.    Penyusunan Instrumen
3.    Persiapan Lapangan
4.    Uji Coba Instrumen
5.    Pengumpulan Data
6.    Pengolahan Data
7.    Analisis Data
8.    Penyusunan Laporan
X

X

XX




XX





XX






XX







XX
X























Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi Cetakan Pertama. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan Prilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Priwanto, Bambang. (2010). Prosedur Penulisan Proposal. [online]. Tersedia: http://www.blogger.com/pdf.htm. [11 mei 2009]
WHO. (2003). Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Switzerland: WHO Publication;2003.
Suparyanto, dr. 2010. Konsep Makanan Sehat. [online]. Tersedia: http://www.blogger.com/profile/07860846197913074475.htm. [06 juli 2010]
Giffari, al. 2010. Demam Tifoid. [online]. Tersedia: http://anugrahgiffariscence.blogspot.com. [27 Desember 2010]
Wulandari, Friska., and Yayan Akhyan Iksar. 2010. Demam Tifoid (tifoid fever). [online]. Tersedia: http://www.Belibis17.blogspot.com. [24 Desember 2011]
Supriyono, MKes. 2010. Demam Tifoid. [online]. Tersedia: http://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-typhoid-fever. [10 Mei 2008]
Idna. 2011. Definisi Demam Tifoid. [online]. Tersedia: http://idnavava.blogspot.com/profile/12260406879964551126.htm [29 November 2011
Medlinux. 2011. Tata Laksana Demam Tifoid. [online]. Tersedia: http://medlinux.blogspot.com/2012/05/tata-laksana-terkini-demam-tifoid.html [27 April 2011]
Depkes RI. (2010). Pedoman Teknis Pengendalian Lalat. [online]. Tersedia:  Available from: www.depkes.go.id. [29 juli 2010]
WHO. (2009). Drug resistant salmonella. [online]. Tersedia: Available from: http://www.who.int/mediacenter/factsheets/fs139/html. [13 oktober 2009]
Soegijanto S. (2002). Demam tifoid, ilmu penyakit anak diagnosa dan edisi penatalaksanaannya. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Medika.

2 komentar: